Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI ROKAN HILIR
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Rhl MARUNGKAP SIMANJUNTAK Als OPUNG RASEL KEPOLISIAN RESOR ROKAN HILIR Cq KEPOLISIAN SEKTOR BAGAN SINEMBAH Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 06 Jun. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Rhl
Tanggal Surat Senin, 06 Jun. 2022
Nomor Surat 78/A-ED/PDN/PRAPID/VI/2022
Pemohon
NoNama
1MARUNGKAP SIMANJUNTAK Als OPUNG RASEL
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN RESOR ROKAN HILIR Cq KEPOLISIAN SEKTOR BAGAN SINEMBAH
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
MARUNGKAP SIMANJUNTAK Als OPUNG RASEL,Umur 55 tahun, Jenis Kelamin Laki-laki, Pekerjaan Karyawan swasta, AgamaKristen, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jl. Nuri RT.06/RW.02, Kelurahan Balam Sempurna Kota, Kecamatan Balai Jaya, Kabupaten Rokan Hilir-Riau.;-------
---------------- Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ;-------------
Dalam hal ini diwakili oleh kuasanya DANIEL PRATAMA, SH., MH., HAZIZI SUWANDI, SH., RAHMAT AL AMIN, SH., dan JOSUA SITINJAK, SH. kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “EDY-DANIEL, & ASSOCIATES”  yang berkantor di Jalan Lintas Riau-Sumut, Kelurahan Banjar XII, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir-Riau (Depan SPBU Tanah Putih), Hp. 082387252695. Berdasarkan Surat Kuasa Nomor: 77/A-ED/SKK.P/V/2022 tertanggal 30 Mei 2022.;---------------------
 
        ------------------------- M E L A W A N--------------------------
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Cq KEPOLISIAN DAERAH RIAU
Cq KEPOLISIAN RESOR ROKAN HILIR
Cq KEPOLISIAN SEKTOR BAGAN SINEMBAH
 
yang berkedudukan di Jalan Jendral Sudirman Bagan Batu, Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir - Provinsi Riau.;---------------------------------------------------------------------
-------------- Selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ;-----------
Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Rokan Hilir terhadap diterbitkannya Surat Perintah Penangkapan atas nama MARUNGKAP SIMANJUNTAK Als OPUNG RASEL, Nomor : SP.Kap/56/V/RES.1.24/2022, tanggal 24 Mei 2022, dan Surat Perintah Penahanan atas nama MARUNGKAP SIMANJUNTAK Als OPUNG RASEL, Nomor : SP.Han/50/V/RES.4.2/2022, tanggal 25 Mei 2022.
Sebagaimana di duga telah melakukan perkara tindak pidana Perbuatan Cabul, yang terjadi pada Hari Jumat Tanggal 29 April 2022 sekiranya pukul 14.00 wib di Jl. Nuri RT.06/RW.02, Desa Balam Sempurna Kota, Kecamatan Balai Jaya, Kabupaten Rokan Hilir-Riau, sebagaimana dimaksud dalam“Pasal 82 Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak Jo 76E Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak”.
 
Adapun alasan Pemohon mengajukan Praperadilan sebagai berikut :
A. TENTANG OBJEK PERMOHONAN
 
"Penetapan Tersangka" berdasarkan Surat Perintah Penangkapan atas nama MARUNGKAP SIMANJUNTAK Als OPUNG RASEL, Nomor : SP.Kap/56/V/RES.1.24/2022, tanggal 24 Mei 2022, dan Surat Perintah Penahanan atas nama MARUNGKAP SIMANJUNTAK Als OPUNG RASEL, Nomor : SP.Han/50/V/RES.4.2/2022, tanggal 25 Mei 2022, di duga telah melakukan perkara tindak pidana Perbuatan Cabul, yang terjadi pada Hari Jumat Tanggal 29 April 2022 sekiranya pukul 14.00 wib di Jl. Nuri RT.06/RW.02, Desa Balam Sempurna Kota, Kecamatan Balai Jaya, Kabupaten Rokan Hilir-Riau, sebagaimana dimaksud dalam “Pasal 82 Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak Jo 76E Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak”.
--------- Selanjutnya disebut sebagai OBJEK PERMOHONAN;---------
B. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka / terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka / terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
 
b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
 
e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6. Dan lain sebagainya
f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
• [dst]
• [dst]
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
 
g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
C. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA.
1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
4. Bahwa Pasal 66 Ayat (1) dan Ayat (2) Perkap Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia: 
1. Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh Penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilakukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
2. Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.
 
Oleh karena itu disimpulkan bahwa seseorang hanya bisa ditetapkan sebagai tersangka bila terdapat minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan, sebelumnya telah pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
 
5. Bahwa dengan melakukan gelar perkara untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yang merupakan syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan dan bukti secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
6. Bahwa sebagaimana diketahui Terhadap perkara ini Pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka dan atau diperiksa sebagai saksi sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon.
7. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangka nya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepolisian sektor bagan sinembah.
8. Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara dan pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a-quo. 
9. Bahwa tertundanya penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum bukan saja menimbulkan ketidak pastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara nomor 130/PUU-XIII/2015 yang diucapkan Rabu (11/1) diruang sidang Pleno MK. “Mengadili mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian”, ucap ketua MK Arief Hidayah didampingi Hakim Konstitusi lainnya.
10. Bahwa Putusan Uji materiil ketentuan pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut Mahkamah pun menyatakan pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor. adapun batas waktunya paling lambat tujuh hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.
11. Bahwa Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan pentingnya terlapor dan pelapor mendapatkan SPDP. menurut Mahkamah Terlapor yang telah mendapatkan SPDP dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk Penasehat Hukum yang akan mendampinginya. sedangkan bagi Pelapor, SPDP dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.
12. Bahwa dalam hal ini sudah lebih dari 7 (tujuh) hari penyidik belum menyerahkan SPDP kepada Terlapor serta ditambah lagi bahwa terhadap peristiwa tanggal 29 April tidak pernah terjadi dikarenakan korban hanya pernah datang di tanggal 28 April untuk bermain ayunan dengan demikian sungguh nyata alasan prapid ini dikabulkan.
2. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.
4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”.Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
6. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
 
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
7. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
• “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
• Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
8. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
 
3. SYARAT FORMIL DAN MATERIL PENANGKAPAN DAN PENAHANAN TIDAK TERPENUHI.
 
1. Cacat formil penangkapan dan penahanan.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam proses penangkapan yang dilakukan petugas Kepolisian Sektor Bagan Sinembah terhadap Pemohon terbukti bahwa proses penangkapan tersebut cacat formil karena telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. ”Bahwa proses penangkapan terhadap Pemohon terbukti telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan: “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”
 
2. Cacat Materil penangkapan dan Penahanan
 
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan di atas, terbukti bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan Kepolisian Sektor Bagan Sinembah cacat materil. Hal ini akan Pemohon jelaskan sebagai berikut ini:
 
 
2.1. Penangkapan terhadap Pemohon
 
Bahwa ketentuan pasal 17 KUHAP menyatakan: “Perintah penangkapan dilakukan seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti pemulaan yang cukup. ”Lebih lanjut penjelasan pasal 17 KUHAP menyatakan: “yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. ”Pasal 1 butir 14 menyatakan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
 
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam pemeriksaan Pemohon terbukti bahwa pihak Kepolisian Sektor Bagan Sinembah tidak memiliki alat bukti yang sah sesuai ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP.
 
D. PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa dan mengadili perkara a-quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan telah melakukan perkara tindak pidana Perbuatan Cabul, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak Jo 76E Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak. oleh Kepala Sektor Bagan Sinembah adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Menyatakan tidak SAH dan melawan hukum Surat Penangkapan Nomor : SP.Kap/56/V/RES.1.24/2022, tanggal 24 Mei 2022 yang di terbitkan oleh Termohon.
4. Menyatakan tidak SAH dan melawan hukum Surat Penahanan Nomor : SP.Han/50/V/RES.4.2/2022, tanggal 25 Mei 2022 yang di terbitkan oleh Termohon. 
5. Menyatakan batal demi hukum Laporan Polisi Nomor: LP/B/46/IV/2022/SPKT/POLSEK BAGAN SINEMBAH/POLRES ROHIL/POLDA RIAU, tanggal 30 April 2022.
6. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon.
7. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon.
8. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
9. Memerintahkan Termohon untuk merehabilitasi nama baik Pemohon dalam sekurang-kurangnya pada 10 media televisi nasional. 10 media cetak nasional, 4 harian media cetak lokal, 6 Tabloid Mingguan Nasional, 6 Majalah Nasional, 1 Radio Nasional dan 4 Radio lokal.
10. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
 
PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a-quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya